Senin, 14 Januari 2013

Mengistigfari Syukur

Pagi ini, 15 Januari 2013, hidup gw normal. Alhamdulillah. Waktu naik anggkot, gw duduk di pinggir pintu. Di pojok ada seorang ibu memangku anaknya. Umurnya sekitar 8 tahun dengan tinggi sekitar 125 cm. Cukup kurus, kelihatannya.

Tadinya nggak terlalu gw perhatiin. Tapi pas ibu itu dan anaknya turun di Bunderan Radin Intan, gw mulai melihat ada yang tidak normal dari anak itu. Jari tangannya menekuk. Tidak rileks seperti anak-anak normal. Liurnya terlihat mengalir. Tatapannya sayu dan lugu.

Ibunya punya raut yang teduh dan sabar. Perilakunya juga begitu. Setelah membayar ongkos angkot, anak itu dia gendong. Padahalkan, kalau normal, anak itu sudah tidak perlu digendong. Sudah cukup besar.

Oke. Melihat fenomena itu, gw berpikir. Alhamdulillah, gw sehat, segar, ceria, pintar, cerdas, dan selalu bahagia. Mata yang masih sehat, telinga yang bisa mendengar dengan baik, mulut yang bisa melafal tiap huruf dengan sempurna, tangan dan kaki yang masih berdaya. Punya penghasilan yang bisa memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan bisa dipakai untuk foya-foya.

Pikiran berikutnya, seharusnya para orang tua yang terlalu menuntut anaknya berprestasi dan sempurna, perlu melihat fenomena itu. Hingga pada akhirnya, meski anaknya bukan juara pertama atau bintang kelas, tetap bersyukur memiliki anak yang sehat, cerdas, dan ceria. Tidak memiliki kekurangan, baik fisik maupun mental. Ah, begitu mudahnya Allah mengingatkan untuk meng-istigfar-i rasa syukur yang masih jauh dari sempurna.[]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar