Rabu, 30 Januari 2013

D' Story about Nanjak, Makan Siang di Puncak Gunung Betung

Pemandangan di sekitar camp Gunung Betung
Segala puji hanya bagi Rabb yang maha tinggi. Setelah Kamis Lalu, gw—dan para sodara-sodara gw yang tampan, manis, dan imut— lari ke pantai, Minggu lalu, 27 Januari 2013, gw kembali mendaki gunung. Kali ini bareng sahabat gw Feri Firdaus dan seorang adik dari FT Rudi Hari Perdana. Kebetulan Feri baru balik dari Jogja dan kebetulan Rudi kepingin banget-banget diajakin nanjak.

Jadilah Satu hari sebelum nanjak, gw ajakin mereka. Sebenernya ngajakin beberapa cewek-cewek. Tapi gw bersyukur banget mereka nggak jadi ikut, setelah gw menjekaki sendiri track-nya. Kalo gw jalannya bareng cewek-cewek pemula, gw pesimistis bakal bisa muncak hari itu.

Gw, Feri, dan Rudi janjiannya jam setengah tujuh di Indomart Jalan Pramuka, Bandar Lampung. Tapi emang dasar ya, kalo jalan sama cowok-cowok lebih banyak ngaretnya. Alhasil, kita baru berangkat dari Pramuka sekitar setengah delapan.

Sambil nunggu mereka, gw sempet makan nasi uduk, beli dua bungkus nasi tanpa lauk, 2 bungkus kerupuk, dan tilawah (gaya..). Gw cuma beli nasi sama kerupuk, soalnya di rumah makan yang di samping Indomart, belum ada lauk yang mateng. Lebih tepatnya, lauk yang gw inginkan belum mateng, haha.

Pertama, Rudi yang dateng. Nggak lama, Feri tiba. Kita sokongan dulu Rp30 ribu buat beli makanan dan obat-obatan. Gw beli sosis dua bungkus untuk lauk makan. Agak anarki, memang. Soalnya gw nggak terlalu laper dan nggak niat-niat amat untuk makan siang.

Eniwei, gw sudah lebih dulu sms-an sama Nur—yang waktu itu turun bareng dari Gunung Betung. Ternyata dia sudah di Betung satu malam. Kebetulan. Dia bilang, ada seniornya yang Minggu pagi mau nanjak juga. Katanya, bisa diajakin muncak. Hore! Kebetulan yang sangat membahagiakan buat gw. Gw juga janjian sama Nur untuk turun bareng. Gw emang nggak niat nge-camp di Gunung Betung. Minggu uy, Senin kerja (soknya karyawan bertanggung jawab).

Kita sampe gapura Gunung Betung Sekitar jam delapan. Jalan sama mereka cukup cepet, meski mereka pemula. Maklumlah ya, stamina cewek sama cowok emang beda. Jam sepuluh, gw udah bisa ngobrol sama Nur di camp.

Ada tiga orang cowok yang baru bangun tidur dan baru keluar dari tenda, yang kami tunggu. Mas Wahyu, Eko, dan Eben. Mereka bertiga mau muncak

Jam sebelas ahirnya kami meninggalkan wilayah camp. Satu jam menunggu mereka bebenah dan cuci muka sudah membuat kami menghasilkan banyak karya. Foto tentu saja.

Mereka bertiga pada pake celana pendek, kaos, jaket, dan bawa botol air minum aja. Eko bawa golok. Sementara kami, pada pake tas dengan logistik di punggung.

Menuju pos 2, waktu di lintasan sungai, kami mau foto-foto. Tapi kamera jatuh ke aliran sungai. Seketika suasana jadi suram. Bukankah hal paling penting dari jalan-jalan adalah foto-foto? Hahaha… Tapi kami cukup nyantai, yang penting agenda muncak tetep jadi.

Sebelum muncak, ngobrol dulu bareng additional team, sambil makan duren bawaan Feri. Kata Mas Wahyu, di tempat jatoh kamera itu, sering ada yang celaka dan meregang nyawa.

Kemudian, kami mulai agenda muncak. Waktu liat track-nya, sempet jiper juga. Tapi gw yakin, gw sanggup sampe ke puncak. Apalagi tiga orang yang bergabung dengan kami adalah orang-orang yang pro di bidang nanjak. Nggak salah deh. Feri dan Rudi, meski pertama kali muncak, pasti akan tetap menjaga harga diri di hadapan gw. Mereka berdua nggak mungkin nyerah di tengah jalan, meski Feri sempet bilang, “udahlah sampe sini aja, dapet apa di puncak kalau pemandangannya nggak keliatan?” Kurang lebih gitu. Dan, sumpah, gw kesel banget denger kalimat itu. Come on, Man! Muncak itu bukan sekadar soal pemandangan bagus atau enggak! Muncak itu new experience, Muncak itu juga bagian dari harga diri (buat gw, haha). Tau-tau sampe di puncak, buat gw, bukti kalau kita menikmati perjalanan.

Gw tuh kesel banget di perjalanan muncak itu dengan pertanyaan “puncaknya di mana?” “masih lama nggak?” Come on, Man! Nikmati aja saat-saat kita harus manjat dan berpegang dengan akar-akar ketika mendapati jalan setapak yang curam dan licin. Nikmatin aja saat kita kelelahan, haus, detak jantung lebih cepat, berupaya menghindari gigitan pacet. Nikmatin aja! Justru di situ poin spesial dari nanjak. Kalau mau yang nyaman, tidur aja di rumah.

But, eniwei, kita sampe puncak Gunung Betung sekitar setengah satu siang. Nggak sampe 5 menit, kita melipir ke makam tua, melipir turun beberapa ratus meter. Ada tiga makam tua. Ternyata makan yang diceritakan mas Wahyu, benar ada. Salah satunya, yang ukurannya lebih besar, ada sisa sajen. Terus di atasnya ada bekas pohon tumbang.

 

Makan siang di Puncak Betung

Kita makan siang di sekitar situ. Dua bungkus nasi, dua bungkus kerupuk, dan dua bungkus sosis untuk makan enam orang. Sumpah, makan siang hari itu menarik banget buat gw. Kami berasa sodara. Haha.

Eko dan Eben sempet buat api untuk mengusir pacet yang bak cendawan di musim hujan, banyaaaaaak banget. Rudi masih selalu berisik dengan banyaknya pacet yang nempel di kakinya. Serius deh, Rudi yang paling berisik di sepanjang perjalanan muncak kami. Sementara Mas Wahyu, Eko, dan Eben, nyantai banget. Keren deh mereka.

Ada tiga makam tua di sekitar Puncak Betung

Selesai makan siang, duduk ngobrol bentar, sambil bakar sampah. Kami turun sekitar setengah dua siang. Beruntung, hari itu cuaca cukup cerah. Minimal nggak ujan, walau langit kadang terlihat mendung. Kita sampe di camp jam 3 kurang. Terus turun sekitar jam 4.

Gw mulai merasakan cidera di lutut kiri ketika perjalanan turun. Nggak lama, hal yang sama terasa di lutut sebelah kanan. Jadilah gw berjalan begitu lambat. Rasa-rasa kedua lutut mau copot, sebenernya. Tapi, gw nggak mau ngerepotin tim. Gw terus jalan, kadang berhenti sebentar. Tapi gw terus jalan. Sampe masjid yang di pinggir jalan sekitar jam setengah enam. Gw sampe rumah hampir jam 7 malam.

Gw sangat berterima kasih dengan Feri dan Rudi, sudah mau nemenin gw muncak. Gw juga sangat berterima kasih kepada Nur yang telah mengenalkan kami dengan mas Wahyu, Eko, dan Eben. Gw salut dengan sikap mereka bertiga. Nyantai, tapi tidak mungkin meninggalkan teman seperjalanan. Itulah mereka saat muncak kemarin. Dan  gw, pingin bisa bersikap seperti mereka, nyantai, tenang, riang, dan tidak meninggalkan teman di perjalanan, apalagi memilih jalan duluan.[]

Happy Nanjak, all!


Natar, 30012013
9.22 PM

Hisna Cahaya

Jumat, 25 Januari 2013

Kembali ke Pantai Klara


Kamis pagi (24/1/2013), kami –Gw, Bayu Imut, Heru, dan Tomy— yang biasanya jalan ke gunung, atau nonton di 21, atau tes vocal, kali ini bertolak ke pantai. Tujuannya ke Pantai Klara, di sekitaran Hanura.

Kami jalan bareng keluarga besar Bayu. Ada ibu, bapak, dan adiknya Bayu. Juga seorang keponakan Bayu yang kata Bayu dari nemu. Hahai.

Bahkan, kami dijelmput sama keluarganya Bayu. Gw agak nggak enak pas liat, yang jemput gw, sekeluarganya Bayu, bukan Bayu sendiri. Tapi, ya udah lah ya, nggak usah sok basa-basi busuk juga, gw. Tetep seneng dan cuek-cuek aja juga. Hahai.

Keluarganya Bayu asik Banget. Gaul. Mereka juga keliatan banget, deket satu sama lain. Hal itu terlihat dari pola komunikasi mereka. Terutama Bayu dan ibunya. Dan, gw juga menangkap betapa bapaknya Bayu begitu sayang dan protektif dengan anak-anaknya.

Tadinya, rencana kami mandi di pantai dan snorkeling-snorkelingan, nggak jadi. Soalnya cuaca pagi terlihat mendung berawan, awanabiwityu, maksutnya :D. Tapi kemudian berangsung cerah. Jadi nih, jadi.

Sekitar jam 10, kami nyampe di Klara. Langsung deh pada lari ke pantai, eh maksudnya pada menyusuri bibir pantai, lalu nyebur, sekitar 20-30 meter dari pinggir pantai. Pada bawa pancing, termasuk gw.

Pas gw mancing, nggak lama langsung dapet ikan. Selesai deh. Cuma tes doang, gayaan. Abis itu pancing beralih ke adiknya Bayu. Gw cuma berenang-berenang nggak jelas. Melihat keindahan bawah laut. Yang lain masih pada mancing, termasuk ibundanya Bayu, Heru, dan Tomy.

Nah, si Bayu tuh lebih banyak berendem, diem. Kalo udah gitu, gw mulai curiga dan menjauh darinya. Bahkan ikan pun menjauh dari Bayu kalo dia udah diem-diem gitu. Yu now lah, wat ai min.

Tapi sih Bayu bilang, air laut tuh asin karena air kencing ikan. Ditambah lagi ikan-ikan yang keringetan. Dan gw percaya-percaya aja. Yah, udah lah ya. Jalan-jalan gratis ini. Di-iya-in aja. Hahai..

Sekitar setengah dua belas siang, kita mulai beranjak ke bibir pantai. Terus Tomy manjat pohon yang di samping pondok tempat kita istirahat. Gw sebagai seorang yang mulai suka manjat, jadi pingin manjat juga dong. Akhirnya kita berdua nangring di atas pohon dan dipoto-potoin sama orang-orang yang di bawah (padahal maksa minta potoin).

Udah cukup lama nangkring di atas pohon, kita turun. Nah, gw kepeleset dikit gara-hara sok-sok-an turunnya jalan biasa, kayak cuma meniti jalan sempit. Gara-gara itu, punggung gw agak sakit dikit. Tapi nggak terlalu lama sih, rasa sakitnya. Terus kita makan siang, ramean. Ramean sama kucing juga.

Gw nggak bawa baju salin. Kata ibunya Bayu, itu yang namanya nekat. Jadi baju yang gw pake kering di badan. Beruntungnya, cuaca siang itu cerah-panas. Jadilah, bukan sekadar baju gw yang kering agak lembab, tapi kulit gw juga lima tingkat lebih gelap.

Abis makan, kita solat rapelan, terus menyusuri pantai, sambil foto-foto, makan es krim, beli es doger, dan foto-foto lagi, foto-foto lagi. Gw ketemu seorang balita yang lucu banget mukanya. Kanyak unyil dan pak ogah, pipinya. Rasa-rasa pinging cubit. Tapi ahirnya, gw cium aja. Terus poto bareng.

Di Klara ketemu dengan dua anak teknik yang dulu sering ketemu di Puskom, Desi dan Tinus. Gw ngobrol sama Desi, Tomy ngobrol sama Tinus. Cukup lama. Bingung gimana mengakhirinya. Gw sih mikirnya, nggak enak aja sama keluarganya Bayu yang nungguin kita.

Pas balik, nggak taunya si Heru yang ilang. Dia mandi dan genti pakean. Jadi cuma dia yang penampilannya oke-rapi di antara kami.

Dari Klara, kami menuju Robinson. Sudah ada wacana untuk tes vocal di Lyric. Ya, dengan penampilan itu, nggak ganti baju abis berenang di pantai. Udah gitu, ternyata ada Hanang di BBS, jadi kita ajakin gabung. Jadilah gw, Bayu imut, Heru, Hanang, dan Tomy terjebak di sebuah ruang kecil di Robinson. Gw lebih banyak ketawanya liat gaya mereka yang—seperti biasa—lucu-lucu, aneh, “gila” kalo lagi nyanyi.

Dua jam kita di ruang 21. Pas ke luar, taunya hujan deras. Untung aja mikrolet ke Natar sekarang stay-nya di depan Robinson. Jadi hujan bisa diterabas dengan mudah.

Begitulah kisah perjalanan kemarin. Rencana Sabtu-Minggu besok, nanjak ke Gunung Dempo, kita urungkan dulu. Masih ada lain kali. Lain kali.



Hepi Liburan, all!

Hisna Cahaya

D' Story about Nanjak Gunung Minggu


Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Rabb semesta alam atas kesempatan yang diberikan pada kami –gw, Bayu imut, Tomy, dan Heru— untuk kembali buat cerita tentang nanjak.

Jadi lebih seneng lagi buat cerita perjalanan Minggu lalu (20/1/2013) karena banyak juga yang kena “racun” nanjak. Beberapa teman sudah mulai tanya-tanya soal nanjak, bahkan pingin banget bisa diajakin untuk pendakian  selanjutnya (gaya..).

Well. Minggu pagi, kami bersepakat kumpul di Terminal Rajabasa, jam 7 pagi. Gw nggak nyangka, Bayu yang minta keringanan telat setengah jam, malah sudah “tegambuy” di terminal. Wkwkwkwkwk….

Gw agak nggak enak sama Bayu (boong dink) soalnya empat cewek kece yang gw janjikan ikut perjalanan kami, malah nggak ada satu pun yang ikut. Sebenernya cuma tiga cewek kece. Soalnya gw nggak terhitung, bukan hanya sebagai cewek kece, bahkan sebagai cewek pun gw tidak dihitung. Hahai..

Kita masih memberikan kesempatan bagi Sisil untuk ikut. Dia baru bangun tidur. Padahal itu udah setengah lapan pagi. Ditambah lagi, bangun siang di hari kelahiran? Waw banget ya Sisil (niat penyecemaran nama yang nggak baek :D)

Kita ngumpulin duit dan belanja logistik di Alfamart Rajabasa. Abis sekitar 150 ribu. Padahal Cuma untuk empat orang. Emang anarki banget itu. Ditambah lagi sarapan sebelum berangkat. Kayanya persiapan logistik lebih lebay daripada para tentara mau perang.

Eniwei, harapan jalan sama Sisil pupus di tengah jalan. Em.. gw ulang, harapan jalan sama Sisil pupus di pinggir jalan, kalo di tengah entar di tabrak kendaraan. Sisil memilih melanjutkan tidur dari pada jalan sama kita. Ya udah, jam 9 kita bertolak dari Terminal Rajabasa menuju Hanura. Naik mobil Damri. Ongkosnya lima ribu per orang.

Satu jam kemudian kita sudah sampai di gang, menuju Youth Camp, Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rachman, Hanura. Kita jalan menuju gerbang Youth Camp. Terus tracking ke air terjun ketujuh. Soalnya, di loket nggak ada  petugasnya.

Sekitar satu setengah jam kita sudah sampai di Air Terjun Curup Kuda. Itu yang paling tinggi. Ada beberapa anak SMP yang lagi mandi di sana, bersama senior dan gurunya juga. Ada rombongan anak sekolah dari Natar, yang nyampe Youth Camp bareng kita.

Waktu sampe di lokasi itu, gw terdiam cukup lama. Tomy berusaha mencari jalan darat untuk bisa naik ke atas tanpa melewati track yang di air terjun.

Air terjunnya tinggi banget. Tapi ada beberapa cowok yang climbing di situ dan berhasil sampe atas. Gw belum liat sih, ada cewek yang berani nyoba. Tapi semakin gw perhatikan air terjun itu, gw semakin yakin kalo gw bisa naik sampe ke atas, meski gw pake rok. Maka gw naik!

Waktu gw climbing, gw cuma yakin batu yang gw pegang dan gw pijak cukup kuat untuk menahan beban gw. Gw juga yakin tangan gw cukup kuat menahan berat badan gw yang mungkin hanya sepertiga beratnya Bayu :D

Meski ada akar-akar yang agak rapuh yang gw pegang, gw juga yakin kalo akar-akar itu cukup kuat menahan berat badan gw, barang 1—2 detik. Dan gw berhasil sampai di pertengahan air terjun. Tangan gw agak bergetar sedikit, waktu gw berdiri di situ. Gw sendirian. Gw cewek dan gw sendirian berpijak di situ.

Gw kembali melihat ke atas. Ada sekitar tiga cowok yang berhasil naik ke atas. Gw perhatikan track mereka. Gw coba. Agak ekstrim sih track itu, apalagi gw pake rok. Tapi, gw berhasil sampe yang paling atas. Alhamdulillah. Gw aja ngerasa keren banget, gw bisa sampe atas lewat track yang begitu. Nggak lama, Tomy muncul dari track yang berlainan. Kemudian, Tomy turun lagi ke bawah. Gw sendirian menikmati ketinggian. Gw liat Heru dan Bayu di bawah.

Beberapa menit kemudian Heru menyusul. Lewat sebelah kanan air terjun. Selanjutnya, Tomy dan Bayu datang. Lewat track yang dilewati Heru. Jadi, kami berempat berhasil berpijak di puncak Air Terjun Curup Kuda, Gunung Minggu, Hanura.

Sudah ngumpul gitu, selebihnya kita makan, ngobrol, foto-foto, terus balik dengan jalur yang berbeda. Biar nambah pengetahuan tentang track di situ aja. Seru deh.

Kita ketemu beberapa pendaki lain sih. Say “hai..” dan ngobrol-ngobrol. Mereka yang ngobrol, bukan gw. Haha..

O ya, sebelum pulang, saat mereka lagi pada solat, gw bayar uang masuk Youth Camp. Sebenarnya biaya masuk 3 ribu per orang. Tapi tiketnya belum ada. Jadi masih pake harga lama, dua ribu lima ratus dan tanpa bukti pembayaran.

For Your Information, kalo mau ke Youth Camp naik Damri, jangan pulang lewat dari jam 3 sore. Soalnya, Damri yang lewat sana cuma ada 3. Bolak-balik sehari cuma 3 kali. Dari Terminal Rajabasa, adanya 6.15, 7.30,  dan jam 11 siang. Dari Hahura, bus terakhir lewat jam 4 sore. Tapi kalau nggak ada penumpang dari Pasar Hanura, ya busnya nggak jalan. Sekian.

Happy Nanjak All :D

NOC, 22 Januari 2013
5.42 PM


Hisna Cahaya

Tentang Kamu 2

Hanya Rindu

Aku kira, tidak akan ada tulisan tentang ini.
Tentang rindu bagai guyur hujan yang luruh beriringan
Pada Kamu yang jauh tak terjangkau mataku

Aku kira, setidaknya untuk waktu yang lama
Tidak ada kata rindu yang bisa Kamu baca
Dariku yang menulis Kamu, selalu

Tapi baiklah, kali ini aku menyerah
Tidak bisa tidak, kata rindu harus merebak
Bertebaran, bagai debu jalanan terguyur hujan
Basah, seperti bunga taman yang baru rekah



Natar, 25 Januari 2013
08.30 PM

Takdir Kamu,
Hisna Cahaya

Tentang Kamu 1

Bertemu Kamu Pemilik Rindu


Hari ini aku terburu
Takjub dengan antrian di hadapanku
Seperti tak ada celah bagiku
Untuk turut berdiri di situ

Lalu tetiba
Mataku terpana
Jantung berdetak lebih cepat dari biasanya
Dan tanganku, bergetar entah mengapa
Benar, aku bahagia
Tapi sepertinya
Kamu lebih menangkap pucat pada rona

Ah,
Bisa-bisanya aku
Mengenali Kamu
Di keramaian tuan-puan itu
Bisa-bisanya aku
Menyadari keberadaan Kamu
Hanya dari perawakan punggungmu
Apakah sebegitu hebatnya aku?
Mengenali takdirku
Kamu, diriku


Diriku, Kamu masih sama
Tatapan itu masih sama
Masih seperti yang selalu ada
Terekam jelas di tempurung kepala

Menghampiri dan menyapamu
Adalah kebahagiaan bagiku
Melihat kekagetan di wajahmu
Adalah hal lain yang membuatku berpikir, ini lucu
Mengembang senyum kaku
Kita bicara tergugu

Saat kita membuka kata
Ada sergap bahagia, lingkup kecewa
Yang meningkari ruang di jiwa

Ini takdir kita
Berjumpa, tanpa ada bicara sebelumnya
Mungkin janji kita
Sudah terukir indah sebelumnya
pada kitab kala yang kering pena
Hanya, mengapa
Tatap yang bersahaja
Tak kulihat lebih lama

Selalu aku
Membalikkan badanku
Menatap langkahmu
Menjauh dariku
Selalu Kamu
Menangkap tatapku
Menghantar Kamu
Menghilang dari pandanganku

Kamu, hanya
Yang tak ragu aku pinta
Dari Pemilik Jiwa

Aku ingin dicipta
Dari rusukmu, hanya
Meski sekadar remah cipta
Cukup Kamu saja

Natar, 29 Desember 2012
07.52 PM

Aku memilih Kamu sebagai inspirasiku,
Hisna Cahaya

Sabtu, 19 Januari 2013

Anak Medan yang Dua Malam Nggak Makan


Ini tentang anak Medan yang beberapa kali minep di rumah. Cowok. Baru lulus SMA. Beberapa hari lalu ikut tes penerimaan TNI. Tidak lolos. Kemaren siang pulang ke Medan.

Kami memperlakukan dia dengan baik. Kami berinteraksi  seperti keluarga yang lama nggak ketemu. Emak gw bahkan masakin dia makanan untuk buka puasa. Dia selalu makan dengan lahap, di rumah gw. Kakak gw bantu ngurusin pendaftarannya. Pokoknya kami nggak nganggep orang lain deh.

Tapi dua malam lalu, emak gw cerita yang membuat gw sedih sekaligus marah. Dia kost di rumah sebuah keluarga yang jauh. Abang, tunangan kakak gw, sudah ngasih uang 300 ribu ke yang punya rumah, untuk keperluan anak itu. Tapi satu malam sebelum tes, dia telpon kakak gw, bilang laper.

Satu malam, setelah dia tes tulis siangnya, dia telpon kakak gw, bilang laper lagi. Ternyata dari malam sebelumnya sampe malam setelah dia tes, dia belum makan sama sekali. Dan, nggak ada seorang pun di kost-an dia—yang notabene rumah sebuah keluarga— yang aware tentang hal itu.

Nggak ada tah yang sekadar basa-basi nanya, “Kamu udah makan belum?”.

Astagfirullahal’azim. Parah bener!

Tempat kostnya dia memang cukup jauh dari peradaban kota. Jauh dari warung makan atau tempat jualanan apapun.

Sekiranya tempat tesnya nggak terlalu jauh dari rumah gw, mending sehari-hari sampe hari tes, tinggal di rumah gw aja. Nggak bakal di sia-siain. Nggak bakal dicuekin. Nggak bakal kepaleran, pasti!

Tapi sebenernya gw marah juga sama dia. Kenapa dia sebodoh itu? Apa dia terlalu lugu? Kenapa nggak bilang dengan orang di sekelilingnya kalau dia laper. Padahal, kata emak gw, yang nganter dia tes tulis itu, seorang anak SMA, anak empunya rumah. Mereka kan sebaya, kenapa nggak ada obrolan “Saya laper, tolong sih anter cari makan dulu”. Kenapa???? Dasar Bodoh!

Gw pikir, anak itu perlu ditatar keperibadiannya, untuk sekedar speak up. Sekiranya dia supel bergaul dengan orang di sekitarnya, alangkah mudahnya cari makan, sebenernya. Sekiranya dia sedikit lebih cerdas berpikir, dia nggak mungkin kesasar, di tempat manapun, yang masih asing buat dia. Dia bisa sendirian ke mana-mana. Anak laki loh! Hey, punya mulut kan? Bisa nanya loh! Emak gw sampe ngelus dada cerita hal itu.

Gw bilang sama emak gw, jangan khawatir sama kami, anak-anaknya. Kami semua nggak ada yang sebodoh itu membawa diri. Kami nggak mungkin kelaperan sendirian di tengah keramaian yang asing sekali pun. Gw pastikan hal itu ke emak gw.[]

Natar 20 Januari 2013
6.14 AM

Belajar Perbaiki Diri

Well, kalau ada yang membuat aku termotivasi untuk selalu lebih baik, itu Kamu. Kalau ada yang membuat aku termotivasi untuk terus belajar meski belum lanjut studi, itu Feri, best friend aku. Dan aku, beruntung banget punya kalian berdua di sekeliling aku.

Natar, 20 Januari 2013
5.48 AM

Rabu, 16 Januari 2013

Ramah yang Remeh


Pelajaran hidup gw hari ini, Rabu, 16 Januari 2013 adalah keramahtamahan.  Tadi gw ikut acara peluncuran buku. Ada seorang ibu sebagai petugas registrasi. Dia cukup ramah menanggapi seorang dosen senior. Pas giliran gw ke meja registrasi, malah dicuekin, nggak ada senyum, dan pertanyaan tidak ditanggapi. Oke, fine.

Gw cuma mikir, ih, gitu ya. Ramahnya milih-milih. Gw juga ngasih tau diri gw sendiri untuk tidak mencontoh hal itu. Mungkin buat sebagian orang yang begitu, tidak perlu bersikap ramah pada yang--menurutnya-- remeh, kali ya.

Tapi gw pikir, menjadi pribadi yang ramah ke siapa saja akan mencerminkan level diri kita sejatinya berada di mana. Cukup tau aja. Selain itu, mudah meremehkan orang lain adalah cermin rendahnya level attitude yang dimiliki. Menurut gw sih.

Waktu di dalam ruangan, gw menegur seorang dosen. Eh, di tegur balik, “Eh, Ca. Baru aja saya mau telpon kamu ...”. Gw jadi mikir, ih, bapak ini memanusiakan gw banget sih. Udah gitu gw boleh ikut milih buku. Padahal itu buat dosen.

Waktu nyerahin daftar buku yang gw mau, ada dosen satu lagi yang gw nggak nyangka kenal sama gw. Seinget gw, kayaknya nggak pernah ngobrol sama bapak yang ini. “Bentar ya, Ca,” katanya, dengan begitu ramah. Gw langsung mengiyakan dengan ekspresi ceria. Dalam benak gw, gw harus mencontoh sikap ramah mereka berdua. Harus![]

NOC, 3.34 PM

Selasa, 15 Januari 2013

Pingin Bilang, Tapi Nggak Enaaaak!

“Heh, elu abis ngemil bangke ya, napas loe bau banget!” (ekspresi becanda)

“Hih, elu abis guling-guling di TPA ya. Gilak! Loe bau banget. Mau pingsan gw!” (ekspresi becanda)

“Sebenernya aku pingin ngasi tau kamu, napas kamu tuh bau banget tau nggak sih! Sikat gigi sanah!” (ekspresi mellow nggak jelas)

“Aku maklum deh kalau tiap orang punya aroma yang berbeda, tapi bisa kan disiasati dengan sering mandi atau pake parfum, gitu?”. (ekspresi sok peduli)

----
Oke, itu kalimat-kalimat yang terpikir di otak gw kalau gw ketemu sama orang yang bau mulutnya “oye” banget atau bau badannya “asoy geboy” luar biasa.

Tapi, apa pernah gw ngomong begitu, meski ke sahabat sendiri, misalnya? Nggak pernah!

Gw nggak enak mau ngomongnya, sumpah!. Akhirnya, diem-diem aja dan menabahkan diri atas cobaan hidup dari seorang teman yang nggak nyadar diri. Padahal, sebenarnya, dengan diam, gw sedang membiarkan teman gw, sahabat gw, orang yang lagi sebelahan sama gw, hidup dalam penderitaan berkepanjangan (lebay). Ah, betapa jahatnya gw!

Well, beib. Gw paling nggak suka dengan bau mulut dan bau badan, meski pada saat puasa sekali pun!

Sebenarnya, bau mulut itu bisa dihindari, meski loe puasa dari subuh sampe magrib. Bau mulut juga bisa dihilangkan meski tiap hari elo makan jengkol sama pete’. Itu kan soal membersihkan gigi dan lidah dengan baik. Biasain deh, bersiin juga lidah. Jangan cuma gigi yang disikat.

Begitu juga soal bau badan! Bisa lah diselesaikan. Jaman sekarang gitu loh! Parfum rame, deodorant berseliweran. Mulai yang bentuk roll on, lotion, sampe yang semprot aja ada. Itu tinggal usaha si person aja untuk menyamankan diri sendiri dan menyamankan orang lain. Iya, kan?

Serius deh, kalo loe bau mulut dan bau badan yang lebay banget, itu yang malu diri elo sendiri, kok! Dan, maap banget yah, gw nggak bakal ngingetin elo secara verbal maupun kode dengan ngasih elo parfum, deodorant, maupun obat kumur. Bukannya apa-apa, gw nggak enaaaaak, serius! Mending loe nyadar diri aja, gimana?

Natar, 15012013
9.17 PM

Menekan Keegoisan, Kapan?

Sore ini, 15 Januari 2013, ketika gw di angkot, mau pulang, gw inget kalimat yang sering Hanang bilang sewaktu nanjak di Gunung Betung (Makasih, Nang. Telah menginspirasi tulisan ini).

Eniwei, entah kenapa gw sering terpikir tulisan, justru pas di angkot. Canggih bener ini!

Hanang –kurang lebih— bilang “Naik gunung itu melatih keegoisan”. Mungkin lebih tepatnya, naik gunung sejatinya melatih seseorang untuk menekan keegoisannya.

Saat nanjak, kita melatih diri untuk peduli dengan anggota team. Ikut berhenti dan nungguin anggota tim yang kecapean, misalnya, padahal kita baik-baik aja. Mendengarkan keluhan anggota tim yang mulai putus asa di  track nanjak dan berusaha memotivasi, padahal kita masih semangat dan fisik dalam keadaan baik-baik saja. Berjalan lebih lambat dari biasanya untuk menyesuaikan dengan anggota tim lainnya, padahal kita pingin banget cepet nyampe puncak dan yakin sanggup! Itu mungkin berbagai contoh dari menekan keegoisan saat nanjak.

Gw tipe yang emosian. Gw yakin Hanang juga begitu. Tapi waktu nanjak kemarin, kami begitu mudah menekan keegoisan. Kenapa? Gw pikir, ini sederhana. Karena kami semua, satu tim, berada di kondisi yang sama. Sama-sama lagi nanjak. Lebih mudah, gw pikir, peduli sama orang disituasi yang sedang sama.

Menurut gw, aplikasi sebenarnya dari “menekan keegoisan” itu bukan pada saat nanjak. Tapi pasca-nanjak. Saat kita menghadapi masyarakat, saat kita berada di tempat kerja, saat kita berinteraksi dengan rekan-rekan di sekitar kita.

Kalau kita belum bisa mendengarkan pendapat orang dengan baik, kalau kita masih mudah menyalahkan orang lain atas pemikirannya yang tidak sejalan dengan diri kita, kalau kita dikit-dikit tersinggung, berarti pelajaran “menekan keegoisan” saat nanjak itu belum teraplikasi dengan baik, kan?

Sebenarnya, kata gw, ini nggak beda jauh dengan proses mentarbiyah diri saat Ramadan. Kenapa mudah puasa, mudah tarawih, dan mudah melakukan hal-hal yang baik saat Ramadan? Karena kita semua berada pada kondisi yang sama, sedang berpuasa. Terlebih itu kewajiban orang yang beriman. Mau nggak mau.

Tapi, keberhasilan tarbiyah saat Ramadan itu justru pasca-Ramadan, kan?

Well, sepertinya gw harus lebih sering lagi nanjak. :D



Natar, 8.20 PM

Sakit Jiwa!

Gw sudah berpikir tentang tulisan ini sejak lama. Sering, kan, dengar kalimat “iya sih dia gitu, tapi belum tentu lebih baik dari yang gini”. Dan gw nggak sepakat dengan kalimat macam itu. Semacam kalimat penghibur diri atas kekurangan yang dimikili dan sama sekali tidak mendidik menjadi pribadi yang lebih baik.

Oke, lebih spesifik. Misal ada yang bilang cewek yang berjilbab (dengan syar’i) belum lebih baik dari yang tidak berjilbab. Atau ada yang bilang orang yang ngajinya bagus belum tentu solatnya lebih baik daripada yang nggak belajar ngaji. Atau ada yang mikir, orang yang biasa solat malam belum tentu lebih “shiny” daripada yang nggak solat malam.

Pada akhirnya berpikir “nggak solat dan nggak belajar ngaji nggak papa, yang penting jadi orang baik dan suka nolongin orang. Itu aja sudah cukup”.

Sakit jiwa!

Heloooo! Gilak lo ya! Di mana-mana, orang yang memperbaiki diri itu lebih baik daripada tidak memperbaiki diri.

Soal cewek yang berjilbab dengan syar’i (sesuai tuntunan agama), udah pastilah dia lebih baik daripada yang jilbabnya nanggung, apalagi yang nggak make jilbab. Dia sudah memenuhi kewajiban dasar sebagai seorang muslimah. Ibarat rumah, dia sudah punya pondasi kokoh, tinggal membangun dengan menambah pengetahuan dan memperbaiki diri.

Soal orang yang bacaan qur’annya tartil, otomatislah solatnya lebih baik. Loe perhatiin aja, betapa bacaan salat itu sebagian besar ayat-ayat  al qur’an. Lah gimana solatnya mau benar, kalo baca qur’an aja nggak bisa.

Orang yang bacaan qur’annya pas-pasan—kalo nggak enak dibilang NGGAK BISA BACA QUR’AN— pingin dapat reward yang besar dari Sang Pencipta, itu ibarat orang pingin dapat beasiswa S2 di Amerika tapi bahasa inggrisnya masih “May nem is Iyem. Ayem jes coba-coba eplay dimari, sape tau diterima”. Oke, nice try. Tapi, gilak loe ya! Loe pikir dengan bahasa inggris yang begitu, loe bakal dapat beasiswa S2 ke Amerika?

Bener-bener, pada sakit jiwa!

Well, Ca. Belajarlah. Berbaiki dirilah. Karena menjadi orang baik saja, tidak cukup!


7.57 PM
15012013

Senin, 14 Januari 2013

Mengistigfari Syukur

Pagi ini, 15 Januari 2013, hidup gw normal. Alhamdulillah. Waktu naik anggkot, gw duduk di pinggir pintu. Di pojok ada seorang ibu memangku anaknya. Umurnya sekitar 8 tahun dengan tinggi sekitar 125 cm. Cukup kurus, kelihatannya.

Tadinya nggak terlalu gw perhatiin. Tapi pas ibu itu dan anaknya turun di Bunderan Radin Intan, gw mulai melihat ada yang tidak normal dari anak itu. Jari tangannya menekuk. Tidak rileks seperti anak-anak normal. Liurnya terlihat mengalir. Tatapannya sayu dan lugu.

Ibunya punya raut yang teduh dan sabar. Perilakunya juga begitu. Setelah membayar ongkos angkot, anak itu dia gendong. Padahalkan, kalau normal, anak itu sudah tidak perlu digendong. Sudah cukup besar.

Oke. Melihat fenomena itu, gw berpikir. Alhamdulillah, gw sehat, segar, ceria, pintar, cerdas, dan selalu bahagia. Mata yang masih sehat, telinga yang bisa mendengar dengan baik, mulut yang bisa melafal tiap huruf dengan sempurna, tangan dan kaki yang masih berdaya. Punya penghasilan yang bisa memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan bisa dipakai untuk foya-foya.

Pikiran berikutnya, seharusnya para orang tua yang terlalu menuntut anaknya berprestasi dan sempurna, perlu melihat fenomena itu. Hingga pada akhirnya, meski anaknya bukan juara pertama atau bintang kelas, tetap bersyukur memiliki anak yang sehat, cerdas, dan ceria. Tidak memiliki kekurangan, baik fisik maupun mental. Ah, begitu mudahnya Allah mengingatkan untuk meng-istigfar-i rasa syukur yang masih jauh dari sempurna.[]


Minggu, 13 Januari 2013

UTS di Semeru



Orang-orang pada nanya, gimana cerita perjalanan ke Semeru, beberapa hari lalu. Tapi gw agak bingung mau ceritnya gimana. Entahlah, hasrat menceritakannya kurang begitu membuncah di jiwa.

Oke, pertama, Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala, telah memberi kesempatan menjejaki Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) terutama track Semeru.

Gw berterima kasih kepada Hanang yang udah ngajakin gw untuk menjejaki Semeru. Ditambah lagi dengan Ranny yang jadi leader kita karena sebelumnya pernah menjejaki track itu, bahkan sampe Mahameru. Juga terima kasih buat Tomy yang banyak membantu gw selama di Semeru.

Jumat malam, 21 Desember 2012, selepas salat magrib gw menuju terminal Rajabasa. Nggak lama menangkap sosok Udin. Ternyata berangkat di waktu yang sama. Kalau Udin, tujuannya ke Puncak Bogor.

Nah, kalau gw nunggu Ranny, si Udin nunggu Tomy. Setau gw, Udin dan Tomy punya tujuan yang sama. Si Hanang sudah berangkat duluan ke Bekasi. Cari beberapa alat untuk mendaki.

Pas Tomy datang bawa carrier dan ada matrasnya, gw mulai nge-tune. Kayaknya Tomy putar arah, nggak seperti apa yang dia katakan ke Ka Puskom, waktu gw izin ke Ka Puskom untuk minta tambahan libur beberapa hari.

Well, jadi kami satu tim ada 4 orang. Ranny udah “ngerayu” Udin juga buat ikutan ke Semeru. Tapi sepertinya Udin tidak siap. Haha.

Waktu di Kapal Roro Rajabasa 1, ada acara makan malam di tengah malam dan di tengah jalan, di ruang VIP (kalo nggak salah). Sampai di Merak, lanjut naik bus ke Terminal Rambutan. Ketemu Abdi dan berpisah dengan Udin.

Abdi, mahasiswa angkatan 2012 dari fakultas dakwah UIN, nganterin gw dan Ranny ke Terminnal Pulogadung. Selebihnya, gw dan Ranny berbenah, sambil nunggu Hanang datang. Abis itu, kita makan soto. Gw nggak abis. Hebatnya, Abdi dengan senang hati ngabisin makanan gw. Salut. Padahal dia, kenal gw aja enggak.

Ada insiden unik ketika Tomy telat sampai terminal, bis sudah mulai jalan, dan Hanang dimarahin kondektur. Haha.. Ditambah lagi, kita semua jadi panik. Tapi akhirnya semua berjalan dengan baik. Tomy duduk di samping Cahya, lulusan D3 Teknik Elektro UGM. Angkatan 2009 juga, kayak Ranny dan Hanang.

23 Desember 2012. 3.34 PM di terminal Tirtonadi, Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Ini terminal paling rapi yang pernah gw liat. Ada tulisan “Terminal ini bebas pencuri, calo, dan pengemis”. Ada logo Dishub di sisi kanan tulisan itu. Keren.

5.50 PM, kami melintasi Ngawi. Kiri-kanan jalan berhias sawah yang tumpang sari. Gw sampe terinspirasi menulis sebuah puisi. Haha..



Ada yang begitu berkesan waktu melewati Kota mBatu. Baca tulisan Soto Jangan. Melihat paralayang, Rafting, air terjun, dan melihat gunung yang kami tuju, dengan puncaknya yang begitu merayu, Mahameru.

Singkat cerita, di sore yang terjuyur hujan, kami sampai di Pasar Tumpang. Buat surat keterangan sehat buat Hanang, solat zuhur dan asar yang dijamak, dan beli perlengkapan logistik untuk mendaki. Lepas magrib, kami menuju Ranu Pani dengan Jip. Bersama dua tim lain yang juga sudah menunggu di Pasar Tumpang.

Perjalanan ke Ranu Pani begitu amazing buat gw. Si supir begitu hebat. Bisa melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi padahal kabut membuat jarak pandang hanya sekitar 2-5 meter. Keren. Pasti bisa begitu karena setiap hari melintasi jalan yang sama. Sudah hapal lika-likunya.

Di perjalanan, gw sedikit berat bernafas. Mungkin karena biasa di dataran rendah dan malam itu tetiba harus bermukim di dataran tinggi. Atau mungkin karena psikologis gw aja yang belum nyaman. Tapi lama-kelamaan gw baik-baik saja. Takjub, gw sampai di Ranu Pani.

Malam itu, kami membuka tenda di depan Pos Pendaftaran Pendaki. Tenda yang dibeli di Jakarta ternyata bermasalah. Untung bertetangga dengan tenda Mas Nizar, dari Brebes. Dia baru turun dari pendakian. Kerennya, dia dan rekannya berhasil muncak, meski baru pertama ke Semeru. Meski begitu, tetap wajar, Mas Nizar sudah biasa “nanjak”. Mas Nizar bantuin kita, bahkan buatin kita wedang jahe.

Malam itu gw kedinginan banget. Sampe gw akhirnya satu Sleeping Bag sama si Ranny. Hihihi. Entah berapa suhunya malam itu. Ngeri deh, gw berasa setengah mati kedinginan.

24 Desember 2012, selepas sarapan kami berangkat. Lewat track legal yang dibuat oleh NBTS. Awalnya gw begitu bersemangat. Tapi karena nggak biasa nanjak, ternyata gw nggak cukup kuat menahan berat carrier dan rasa capek melangkah. Akhirnya, Tomy yang bawa tas gw. Gw tuker bawa dua tas kecil Tomy dan Hanang.

Semua berjalan lancar sejatinya. Meski selama perjalanan itu, hati gw terbebani dan merasa bersalah karena Tomy harus bawa carrier gw. Waktu di pos 3, hujan mulai menderas sampai di pos 4. Sedikit lagi sampai di pos 4, Tomy jatuh. Salah satu pergelangan kakinya terkilir. Dari situ,  gw pikir, gw harus bawa carrier gw sendiri.

Malam di Ranu Kombolo. Kompor yang dibawa Ranny nggak bisa idup. Akhirnya pinjem kompor tim lain. Solat, masak (Ranny yang masak), ngobrol, tidur.

25 Desember 2012. bangun subuh, solat, sarapan, foto-foto, melangkah bareng Ranny dan Hanang di Tanjakan Cinta.

Ada beberapa yang nanya, gw inget nama siapa di Tanjakan Cinta. Gw nggak inget nama siapa-siapa. Nggak sempet. Soalnya, menjejaki tracknya aja, sudah berat buat gw. Haha.

Sambil duduk-duduk menatap hamparan datar dan beberapa tim yang melanjutkan perjalanan, gw, Ranny, Hanang berdiskusi. Kami putuskan untuk nggak muncak, kali ini. Lebih baik kita turun karena salah satu tim ada yang cidera. Itu lebih baik daripada keadaan semakin buruk.

Sekitar jam 10 pagi, kami bertolak ke Ranu Pani. Kali ini lewat track Ayek-Ayek. Tapi, Arizka (aka Uul), salah satu remaja yang tinggal di Ranu Pani dan kebetulan melintasi jalan kami, bilang, itu track namanya Plosotan.

Gw bersyukur kami melewati track itu. Sejatinya track itu lebih berat ketimbang track awal kami menuju Ranu Kombolo. Karena track itu, gw jadi tau, ternyata gw sanggup membawa carrier gw sendiri. Padahal beban lebih berat karena ada baju basah. Gw tersadar, hanya dibutuhkan tekat juang yang lebih besar dari biasanya. Itu saja.

Track Plosotan itu cukup “menipu”. Beberapa kali gw kira kami sudah sampai puncaknya, ternyata belum. Lagi-lagi belum. Sampai beberapa kali. Kata Ranny, itu nggak jauh beda dengan track Rinjani yang juga “menipu”.

Di track itu, kami bertemu timnya Mas Irfanto Ahmad dari Surabaya. Mereka yang sudah cukup profesional, juga memutuskan nggak muncak karena salah satu timnya terkilir. Gw jadi nyadar, ternyata begitu ya kalau berjalan dengan tim. Nggak boleh egois, meski sadar, anggota lain sejatinya pingin muncak juga.

Di Plosotan, kenal sama Uul, Gondrong, dan Patke. Mereka remaja dari Ranu Pani. Sekarang bertani. Mungkin seumuran kelas 2 SMA. Sayang mereka nggak lanjut setelah lulus SMP. Kalau mau lanjut, harus sekolah di sekitaran Tumpang. Terlalu jauh dari Ranu Pani.

Mereka bertiga jadi penujuk jala buat kami. Sepertinya mereka juga sengaja nunggu kami. Mungkin karena di tim gw, ada gw dan Ranny yang notabene perempuan, bawa carrier pula, di track yang cukup terjal begitu. Bahkan rentan kepeleset dan jatuh karena jalan cukup licin dan berdampingan dengan jurang.

Waktu perjalanan turun mulai mendekati Ranu Pani, masya allah, pemandangannya keren. Sayur-mayur di kiri-kanan jalan terlihat begitu rapi. Keren banget deh.

Asar, kami sampai di pos TNBTS. Magrib kami bertolak ke pasar tumpang dan kembali pulang. Bareng timnya Mas Gito dari Jakarta. Ada Mas Ian, Mas Wahyu, dan Mas Deri. Satu lagi sih, yang bukan tim Mas Gito, tapi bareng pulangnya. Kita naik bus ac abal-abal, dari Surabaya sampai Pulogadung. Gilanya, supir bus itu ketauan ngantongin jam seorang penumpang asal Flores, kalo nggak salah. Supirnya ditonjok sama si penumpang. Giginya patah dua. Urusan itu dibawa ke kepolisian.

Well, buat gw, perjalanan ke Semeru kali ini merupakan UTS. Gw harus mempersiapkan diri lebih baik lagi supaya Mei 2013 nanti, gw bisa benar-benar menjejakkan kaki di Mahameru, tanpa keegoisan, tanpa kesalahniatan, tanpa kesombongan, dan tanpa membebani orang lain.

Semoga nanti gw bisa muncak dengan penuh kerendahan hati dan rasa syukur. Mampu merapalkan surat cinta dari Sang Pencipta Yang Maha Tinggi di tanah tertinggi di pulau Jawa, Negeri Atas Awan, Mahameru. Aamiin.

Menurut gw:

1. Kalau nggak pernah berjalan jauh, nggak biasa olahraga, dan nggak bisa menganggat beban berat, minimal setengah dari berat badan sediri, tapi tetep bersikeran ke Semeru, berarti sedang berniat untuk membebani orang lain.

2. Sebaiknya jejaki dulu gunung-gunung lain, sebelum ke Semeru. Biar tau, muncak itu sebenarnya seperti apa. Harus siap tidur di alam bebas, makan dengan keadaan terbatas. Juga soal bersih-bersih. Jangan harap senyaman di rumah. Harus gali lubang-tutup lubang dan belum tentu bertemu air.

3. Di gunung, entah kenapa, kata: kentut, boker, ee' atau pup jadi sesuatu yang biasa saja untuk diucapkan. Bahkan kalau melihat orang sudah mulai melipir ke balik pohon atau berjongkok di semak-semak, sudah otomatis memalingkan muka tanpa harus bertanya-tanya mereka hendak apa. Semua jadi begitu mudah untuk dimaklumi. Atau di gunung, memudahkan orang kehilangan kesopanan, rasa malu, dan tatakrama berbicara, entahlah.

4. Menyedihkan dengan keadaan Ranu Kombolo. Disaat gw bela-belain meninggalkan pasta gigi dan facial foam supaya danau itu tidak tercemar, eh ada aja orang yang seenaknya sikat gigi, cuci muka, mandi, dan sampoan dengan produk-produk kimia itu. Padahal Ranu kumbolo adalah sumber air minum kita, para pendaki.

5. Belajar packing deh. Serius. Belajar packing yang efisien untuk dibawa nanjak. Supaya nggak ngerepotin diri sendiri dan orang lain.

Natar, 29 Desember 2012
Hisna Cahaya

D'2 Story about Nanjak Gunung Betung

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji hanya milik Rabb semesta alam yang telah mencipta begitu indah pemandangan dari  ketinggian. Terlebih telah mengizinkan gw, Umi, Heroe, Tomy, Hanang, dan si Imoetz Bayu yang tampan untuk menikmati kemahaindahan alam ciptaan-Nya.

Gw seneng banget. Track Semeru bukan jadi satu-satunya tempat gw nanjak—seumur idup. Hore..
Kemarin, Minggu, 13 Januari 2013 ada tanah tinggi lain yang kami jejaki. Gunung Betung. Ketinggiannya sekitar 1.523 mdpl.

Malam sebelum berangkat, gw sms Umi. Ngajakin ikut. Dari pada gw cantik sendiri, kan. Gw inget, Umi pingin ke Semeru. Makanya, gw ajakin latihan dulu.

Kami sepakat kumpul di Gedung Puskom jam 7 pagi. Udah ngumpul sih. Tinggal si Bayu yang udah niat telat setengah jam. Jadi kita pada cari sarapan di sekitaran GSG Unila. GSG cukup ramai karena ada kegiatan Try Out yang diikuti siswa SMA sekitaran Bandar Lampung.

Sekita jam 8 pagi, kita baru meninggalkan Puskom. Belanja logistik di Alfamart Pramuka. Lanjut sampe ke Wiyono, Pesawaran. Nyampe sekitar jam 10. Pas turun dari angkot,nggak taunya di seberang gang itu, telah bertengger dengan indah sebuah Indomart. Oke, jangan-jangan di puncak juga udah ada Indomart.

Kita benar-benar jalan dari pinggir jalan. Itu lumayan nggak ngasikin. Soalnya di kiri kanan jalan masih banyak rumah penduduk. Jalan masih aspal. Lama-kelamaan jalan berubah jadi batuan. Rumah makin jarang. Terus nanjak. Jalan mulai tanah merah licin dengan kebun coklat di kiri kanan. Tapi jalan masih lebar, masih ada beberapa motor yang lewat. Ah, nggak seru!

Tapi tapi tapi… lama kelamaan makin sadar, ini track nanjak terus dan nggak ada sedikit tanah datar untuk istirahat. Wah ini jadi menarik, keren! Gw jadi suka, entah kenapa. Mungkin karena awal gw nanjak adalah track Semeru, terlebih track Ayek-ayek atau Plosotan yang “wuuuuiiiihhh…mateeee”. Plosotan adalah tanjakan “sadis” yang banyak tipuan. Ditambah lagi, waktu itu pake carrier yang beratnya kayaknya nggak beda jauh sama berat badan gw (lebay).

Jadi kemaren gw sangat menikmati perjalanan. Sangat menikmati tanjakan tanpa baban, baik beban bawaan punggung, maupun beban bawaan hati , dan pikiran. Pokoknya liat tanjakan semakin tinggi tanpa jeda, bawaannya seneng… aja. Heran juga gw.

Seneng lainnya adalah bisa ngajakin Bayu buat nanjak. Jadi sepanjang jalan ada hiburan. Pokoknya semua kelakuan dan perkataan bayu, itu hiburan buat gw. Misalnya, waktu dia bilang cape, atau bandel nggak bisa dinasehatin untuk posisi kaki yang baik pas lagi duduk. Semuanya Deh. Pokoknya kitu nanjak lagi, ya, Bay :D

Kemaren beberapa orang berubah jafi Filosof. Perkataan orang-orang jadi filosofis. Keren. Perjalanan jadi menyenangkan dan ada makna yang ditinggalkan di benak sebagai kenangan (azek!).

Kita sampai di perkemahan sekitar jam 2 siang. Solat di lanjut makan. Kemudian hujan. Niat ke air terjun diurungkan. Selain itu, kita emang nggak terlalu niat muncak.

O, iya, kita kenalan dengan beberapa orang yang sudah 2 hari kemah di situ. Salah satunya Nur, mahasiswa FKIP Geografi Unila ’12. Dia sering banget nanjak ke Gunung Betung. Bahkan pernah sendirian.

Nur sepertinya tipe pendongeng. Supel. Pribadi yang mudah diterima. Sepanjang jalan selalu ada saja bahan yang bisa dia ceritakan. Keren.

Kita berteduh di sebuah warung di dekat perkemahan. Sekitar jam 3 sore, kita turun. Bareng Nur.

Jalan licin karena hujan. Rintik itu lama-lama berhenti. Jas hujan dibuka. Kami turun begitu cepat dan lancar. Nggak ada keluhan cape. Semua menikmati perjalanan turun. Terus ketemu somay beserta Mamang somay ayng punya cerita “serem”.

Untuk turun, sebenarnya gw agak terganggu dengan keadaan lutut kiri, entah kenapa. Di mana pun, setiap turunan, lutut kiri gw agak bermasalah. Sedikit ngilu. Jadi nggak lega jalannya. Sebenarnya itu cuma sementara, kalau sudah di jalan yang datar, nggak kerasa lagi. Tapi, tetep lah, ngeganggu. Ngeri entar akumulasi aja.

Jam 6 kurang, kami sudah di pinggir jalan. Tadinya mau bersih-bersih di masjid, tapi ururng. Kita langsung pulang. Tapi di jalan, berubah niat. Kita diundang makan sama si Udin. Bakso sudah menanti. Belum lagi sisa logistik yang belum sempat dilirik waktu nanjak. Kita selesaikan secara adat. Terus, pulangnya di anterin sama sopir travel Palembang. Senangnya. Terima kasih semuanya. Berikutnya, Rajabasa, kan? :D

 Pingin nulis kata-kata filosofis yang berseliweran sewaktu nanjak kemaren. Tapi lupa.[]